SEJARAH KONFERENSI
ASIA AFRIKA
KONDISI DUNIA INTERNASIONAL SEBELUM KONFERENSI ASIA AFRIKA
Berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945, tidak berarti
berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia. Di beberapa
belahan dunia masih ada masalah dan muncul masalah baru.
Penjajahan yang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia
dan Afrika merupakan masalah krusial sejak abad ke-15. Walaupun sejak tahun
1945 banyak negara, terutama di Asia, kemudian memperoleh kemerdekaannya,
seperti : Indonesia (17 Agustus 1945), Republik Demokrasi Vietnam (2 September
1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus 1947), India (15 Agustus
1947), Birma (4 Januari 1948), Ceylon (4 Februari 1948), dan Republik Rakyat
Tiongkok (1 Oktober 1949), namun masih banyak negara lainnya yang berjuang bagi
kemerdekaannya seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Kongo, dan di wilayah Afrika
lainnya. Beberapa Negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang
menghadapi masalah sisa penjajahan seperti daerah Irian Barat, Kashmir, Aden,
dan Palestina. Selain itu konflik antarkelompok masyarakat di dalam negeri pun masih
berkecamuk akibat politik devide et impera.
Lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara
ideologi, yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat (kapitalis) dan
Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet (komunis), semakin memanaskan situasi
dunia. Perang Dingin berkembang menjadi konflik perang terbuka, seperti di
Jazirah Korea dan Indo-Cina. Perlombaan pengembangan senjata nuklir meningkat.
Hal tersebut menumbuhkan ketakutan dunia akan kembali dimulainya Perang Dunia.
Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah dunia, namun
pada kenyataannya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut,
sementara akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini sebagian besar
diderita oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
LAHIRNYA IDE PELAKSANAAN KONFERENSI ASIA AFRIKA
Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon, Sir John
Kotelawala, mengundang para perdana menteri dari Birma (U Nu), India
(Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali)
dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan
tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara tersebut. Pada
kesempatan itu, Presiden Indonesia, Soekarno, menekankan kepada Perdana Menteri
Indonesia, Ali Sastroamidjojo, untuk menyampaikan ide diadakannya Konferensi
Asia Afrika pada pertemuan Konferensi Kolombo tersebut. Beliau menyatakan bahwa
hal ini merupakan cita-cita bersama selama hampir 30 tahun telah didengungkan
untuk membangun solidaritas Asia Afrika dan telah dilakukan melalui pergerakan
nasional melawan penjajahan.
Sebagai persiapan, maka Pemerintah Indonesia mengadakan
pertemuan yang dihadiri oleh para Kepala Perwakilan Indonesia di Asia, Afrika,
dan Pasifik, bertempat di Wisma Tugu, Puncak, Jawa Barat pada 9 – 22 Maret
1954, untuk membahas rumusan yang akan dibawa oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo pada Konferensi Kolombo, sebagai dasar usulan Indonesia untuk
meluaskan gagasan kerja sama regional di tingkat Asia Afrika.
Pada 28 April – 2 Mei 1954, Konferensi Kolombo berlangsung
untuk membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.
Dalam konferensi tersebut, Perdana Menteri Indonesia, Ali
Sastroamidjojo, mengusulkan perlunya diadakan pertemuan lain yang lebih luas
antara Negara-negara Afrika dan Asia karena masalah-masalah krusial yang
dibicarakan itu tidak hanya terjadi di Negara-negara Asia yang terwakili dalam
konferensi tersebut tetapi juga dialami oleh negara-negara di Afrika dan Asia
lainnya.
Usul ini diterima oleh semua peserta konferensi walaupun
masih dalam suasana skeptis. Konferensi memberikan kesempatan kepada Indonesia
untuk menjajaki kemungkinannya dan keputusan ini dimuat di bagian akhir
Komunike Konferensi Kolombo.
USAHA-USAHA PERSIAPAN KONFERENSI
Pemerintah Indonesia, melalui saluran diplomatik, melakukan
pendekatan kepada 18 Negara Asia Afrika, untuk mengetahui sejauh mana pendapat
negara-negara tersebut terhadap ide pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
Ternyata pada umumnya mereka menyambut baik ide ini dan menyetujui
Indonesia sebagai tuan rumah konferensi tersebut, walaupun mengenai waktu
penyelenggaraan dan peserta konferensi terdapat berbagai pendapat yang berbeda.
Pada 18 Agustus 1954, melalui suratnya, Perdana Menteri
Jawaharlal Nehru dari India mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang
perkembangan situasi dunia dewasa itu yang semakin gawat, sehubungan dengan
adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Memang Perdana Menteri
India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-tidaknya
usul tersebut dilaksanakan. Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia
pada 25 September 1954, beliau yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi
tersebut, seperti tercermin dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan
Perdana Menteri Indonesia :
“Para perdana menteri telah membicarakan usulan untuk
mengadakan sebuah konferensi yang mewakili Negara-negara Asia dan Afrika serta
menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akan membantu
terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang
dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin“.
Keyakinan serupa dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma,
U Nu, pada 28 September 1954.
Pada 28 – 29 Desember 1954, atas undangan Perdana Menteri
Indonesia, para perdana menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Ceylon,
India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan pertemuan di Bogor, untuk
membicarakan persiapan Konferensi Asia Afrika.
Konferensi tersebut berhasil merumuskan kesepakatan
tentang agenda, tujuan, dan negara-negara yang diundang pada Konferensi
Asia Afrika.
Kelima negara peserta Konferensi Bogor menjadi sponsor
Konferensi Asia Afrika dan Indonesia dipilih menjadi tuan rumah pada konferensi
tersebut, yang ditetapkan akan berlangsung pada akhir minggu April tahun 1955.
Presiden Indonesia, Soekarno, menunjuk Kota Bandung sebagai tempat
berlangsungnya konferensi.
MENJELANG KONFERENSI ASIA AFRIKA
Dalam persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, dibentuk
Sekretariat Bersama yang diwakili oleh lima negara penyelenggara. Indonesia
diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri, Roeslan Abdulgani,
yang juga menjadi ketua badan itu, dan 4 negara lainnya diwakili oleh
kepala-kepala perwakilan mereka masing-masing di Jakarta, yaitu Kuasa Usaha U
Mya Sein (Birma), Duta Besar M. Saravanamuttu (Ceylon), Duta Besar B.F.H.B.
Tyabji (India), dan Duta Besar Choudhri Khaliquzzaman (Pakistan).
Pemerintah Indonesia sendiri membentuk Panitia
Interdepartemental pada 11 Januari 1955 yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal
Sekretariat Bersama dengan anggota-anggota dan penasehatnya berasal dari
berbagai departemen guna membantu persiapan-persiapan konferensi tersebut.
Di Bandung, tempat diadakannya konferensi, dibentuklah
Panitia Setempat pada 3 Januari 1955, dengan ketuanya Sanusi Hardjadinata,
Gubernur Jawa Barat. Panitia Setempat bertugas mempersiapkan dan melayani
hal-hal yang bertalian dengan akomodasi, logistik, transportasi, kesehatan,
komunikasi, keamanan, hiburan, protokol, penerangan, dan lain-lain.
Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun dipersiapkan
sebagai tempat sidang-sidang konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12
hotel lainnya serta 31 bungalow di sepanjang Jalan Cipaganti, Lembang, dan
Ciumbuleuit dipersiapkan sebagai tempat menginap para peserta yang berjumlah
lebih kurang 1.500 orang. Selain itu, disediakan juga fasilitas akomodasi untuk
lebih kurang 500 wartawan dalam dan luar negeri.
Keperluan transportasi dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20
bus, dengan jumlah 230 orang sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan
175 ton bensin.
Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan
terakhir di Bandung pada 7 April 1955, Presiden Indonesia Soekarno meresmikan
penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi
Gedung Dwiwarna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika.
Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan
menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuannya.
Pada 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika
dikirimkan kepada kepala pemerintah dari 25 Negara Asia dan Afrika. Dari
seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu
Federasi Afrika Tengah, karena memang negara itu masih dikuasai oleh
orang-orang bekas penjajahnya, sedangkan 24 negara lainnya menerima baik
undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu.
Negara-negara Peserta Konperensi Asia-Afrika :
Afghanistan
Indonesia
Pakistan
Birma
IranFilipina
Kamboja
Irak
Iran
Arab Saudi
Ceylon
Jepang
Sudan
Republik Rakyat Tiongkok
Yordania
Suriah
Laos
Thailand
Mesir
Libanon
Turki
Ethiopia
Liberia
Vietnam (Utara)
Vietnam (Selatan)
Pantai Emas
Libya
India
Nepal
Yaman
ASIA AFRIKA BERGEMA DARI BANDUNG
Pada Senin, 18 April 1955, sejak fajar menyingsing telah
tampak kesibukan di Kota Bandung untuk menyambut pembukaan Konferensi
Asia Afrika. Sejak pukul 07.00 WIB kedua tepi sepanjang Jalan Asia Afrika
dari mulai depan Hotel Preanger sampai dengan kantor pos penuh sesak oleh
rakyat yang ingin menyambut dan menyaksikan para tamu dari berbagai negara.
Sementara itu, para petugas keamanan yang terdiri dari tentara dan polisi telah
siap di tempat tugas mereka untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Sekitar pukul 08.30 WIB, para delegasi dari berbagai negara
berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Preanger menuju Gedung Merdeka
secara berkelompok untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika. Banyak di
antara mereka memakai pakaian nasional masing-masing yang beraneka corak dan
warna. Mereka disambut hangat oleh rakyat yang berderet di sepanjang Jalan Asia
Afrika dengan tepuk tangan dan sorak sorai riang gembira. Perjalanan para
delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan nama
“Langkah Bersejarah” (The Bandung Walks). Kira-kira pukul 09.00 WIB, semua
delegasi masuk ke dalam Gedung Merdeka.
Tidak lama kemudian rombongan Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta, tiba di depan Gedung Merdeka dan
disambut oleh rakyat dengan sorak-sorai dan pekik “merdeka”. Di depan pintu
gerbang Gedung Merdeka kedua pimpinan Pemerintah Indonesia itu disambut oleh
lima perdana menteri negara sponsor.
Pada pukul 10.20 WIB setelah diperdengarkan lagu kebangsaan
Indonesia : “Indonesia Raya”, Presiden Indonesia, Soekarno, mengucapkan pidato
pembukaan yang berjudul “Let a New Asia And a New Africa be Born” (Mari Kita
Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru). Dalam kesempatan tersebut Presiden
Soekarno menyatakan bahwa kita, peserta konferensi, berasal dari kebangsaan
yang berlainan, begitu pula latar belakang sosial dan budaya, agama, sistem
politik, bahkan warna kulit pun berbeda-beda, namun kita dapat bersatu, dipersatukan
oleh pengalaman pahit yang sama akibat kolonialisme, oleh keinginan yang sama
dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. Pada bagian akhir
pidatonya beliau mengatakan :
“Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan,
bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika
hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan
seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin. Saya harap
konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan
kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan
perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika
telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah
lahir!”
Pidato tersebut berhasil menarik perhatian dan mempengaruhi
hadirin yang dibuktikan dengan adanya usul Perdana Menteri India dan didukung
oleh semua peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada
presiden atas pidato pembukaannya.
Pada pukul 10.45 WIB., Presiden Indonesia, Soekarno,
mengakhiri pidatonya, dan selanjutnya sidang dibuka kembali. Secara aklamasi,
Perdana Menteri Indonesia terpilih sebagai ketua konferensi. Selain itu, Ketua
Sekretariat Bersama, Roeslan Abdulgani, dipilih sebagai sekretaris jenderal
konferensi.
Kelancaran jalannya konferensi dimungkinkan oleh adanya
pertemuan informal terlebih dahulu di antara para pimpinan delegasi negara
sponsor dan negara peserta sebelum konferensi dimulai yaitu pada 17 April 1955.
Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan yang bertalian dengan
prosedur acara, pimpinan konferensi, dan lain-lain yang dipandang perlu.
Beberapa kesepakatan itu berisi antara lain bahwa prosedur dan acara konferensi
ditempuh dengan sesederhana mungkin dan dalam memutuskan sesuatu akan ditempuh
sistem musyawarah dan mufakat (sistem konsensus).
Sidang konferensi terdiri atas sidang terbuka untuk umum dan
sidang tertutup hanya bagi peserta konferensi. Dibentuk tiga komite, yaitu
Komite Politik, Komite Ekonomi, dan Komite Kebudayaan. Semua kesepakatan
tersebut selanjutnya disetujui oleh sidang dan susunan pimpinan konferensi
adalah sebagai berikut :
Ketua Konferensi : Ali Sastroamidjojo, Perdana
Menteri Indonesia
Ketua Komite Politik : Ali Sastroamidjojo,
Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Ekonomi : Roosseno, Menteri
Perekonomian Indonesia
Ketua Komite Kebudayaan : Muhammad Yamin,
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia
Sekretaris Jenderal
Konferensi : Roeslan Abdulgani, Sekretaris
Jenderal Kementerian Luar Negeri Indonesia
Dalam sidang-sidang selanjutnya muncul beberapa kesulitan
yang bisa diduga sebelumnya. Kesulitan-kesulitan itu terutama terjadi dalam
sidang-sidang Komite Politik. Perbedaan pandangan politik dan masalah-masalah
yang dihadapi antara Negara-negara Asia Afrika muncul ke permukaan, bahkan
sampai pada tahap yang relatif panas.
Namun berkat sikap yang bijaksana dari pimpinan sidang serta
hidupnya rasa toleransi dan kekeluargaan di antara peserta konferensi, maka
jalan buntu selalu dapat dihindari dan pertemuan yang berlarut-larut dapat
diakhiri.
Setelah melalui sidang-sidang yang menegangkan dan
melelahkan selama satu minggu, pada pukul 19.00 WIB. (terlambat dari yang
direncanakan) tanggal 24 April 1955, Sidang Umum terakhir Konferensi Asia
Afrika dibuka. Dalam Sidang Umum itu dibacakan oleh sekretaris jenderal
konferensi rumusan pernyataan dari tiap-tiap panitia (komite) sebagai hasil
konferensi. Sidang Umum menyetujui seluruh pernyataan tersebut, kemudian sidang
dilanjutkan dengan pidato sambutan para ketua delegasi. Setelah itu, ketua
konferensi menyampaikan pidato penutupan dan menyatakan bahwa Konferensi Asia
Afrika ditutup.
Konsensus itu dituangkan dalam komunike akhir, yang isinya
adalah mengenai :
Kerja sama ekonomi;
Kerja sama kebudayaan;
Hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri;
Masalah rakyat jajahan;
Masalah-masalah lain;
Deklarasi tentang memajukan perdamaian dunia dan kerja sama
internasional.
Deklarasi yang tercantum pada komunike tersebut, selanjutnya
dikenal dengan sebutan Dasasila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi
prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.
Dasasila Bandung :
Menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati
tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.
Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
Mengakui persamaan derajat semua ras serta persamaan derajat
semua negara besar dan kecil.
Tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri negara
lain.
Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya
sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
(a) Tidak menggunakan pengaturan-pengaturan pertahanan
kolektif untuk kepentingan khusus negara besar mana pun.
(b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain mana pun.
Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau
menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara
mana pun.
Menyelesaikan semua perselisihan internasional dengan
cara-cara damai, seperti melalui perundingan, konsiliasi, arbitrasi, atau
penyelesaian hukum, ataupun cara-cara damai lainnya yang menjadi pilihan
pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
Meningkatkan kepentingan dan kerja sama bersama.
Menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban
internasional.
DAMPAK KONFERENSI ASIA AFRIKA
Konferensi Asia Afrika di Bandung telah membakar semangat
dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pada
masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian
lahirlah sejumlah negara merdeka di kawasan Asia dan Afrika. Semua itu
menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasasila Bandung semakin merasuk ke
dalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Konferensi Asia Afrika juga telah berhasil menumbuhkan
semangat solidaritas di antara Negara-negara Asia Afrika, baik dalam menghadapi
masalah internasional maupun regional. Beberapa konferensi antarorganisasi dari
negara-negara tersebut diselenggarakan, seperti Konferensi Mahasiswa Asia
Afrika, Konferensi Setiakawan Rakyat Asia Afrika, Konferensi Wartawan Asia
Afrika, dan Konferensi Islam Afrika Asia.
Jiwa Bandung dengan Dasasilanya telah mengubah pandangan
dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia
Ketiga atau “Non-Aligned” terhadap Dunia Pertama Washington, dan Dunia Kedua
Moscow. Jiwa Bandung telah mengubah juga struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Forum PBB tidak lagi menjadi forum eksklusif Barat atau Timur saja.